ketika gue bca e-book nya pandji NASIONAL.IS.ME ada part cerita yang membuat gue ini loh yang harusnya dipikirkan oleh masyarakat Indonesia. jangan bisanya hanya nuntut and no action. this the story, just want to share this, kalo kata orang berbagi itu indah, =]
Elo kenal gue. Pandji Pragiwaksono Wongsoyudo Elo tau pesan gue. Provocative Proactive Elo tau tumpah darah gue Indonesia
I just had an eye opener. My eyes were wide open, and it almost bursted with tears.
Sepasang suami istri datang menjumpai gue. I don’t know them really well. But I do know them. They came to me. They need help.
For 3 years they have been asking God for something. That something came by one day; in a form of a mail. The letter, that were almost thrown away, was actually a notification. A good news. Well, sorta… They are granted a green card. They are now, eligible to live in the United States of America.
They told me, that they were very happy and confused at the same time.
Now, they have to come up with some money. A lot of money.
Mereka yang dapat green card, harus deposit uang sebesar Rp 100.000.000,- sebagai tanda bahwa mereka akan bisa bertahan 3 bulan hidup di sana…
Mereka harus juga menyiapkan uang sebesar Rp 50.000.000,- untuk birokrasi tetek-bengek. Terakhir mereka harus menyiapkan tiket mereka sendiri.
Masalah deposit, walaupun susah, mereka berhasil mendapatkan pinjaman. Karena toh uangnya tidak dipakai, uangnya hanya sebagai jaminan saja. Secepatnya setelah birokrasi lewat, maka uang tersebut akan langsung dikembalikan kembali kepada sejumlah orang yang telah meminjamkan mereka.
Tiket sudah diusahakan oleh sang suami.
Kini, di antara mereka dan Amerika, adalah uang Rp 50.000.000,-
Di tengah-tengah, ada gue.
Mereka (yang tidak dekat dengan gue) memohon bantuan.. mengharapkan kepercayaan. “Uangnya pasti dikembaliin, kalau nggak, rumah jadi jaminan.”
Kemudian sang istri berkata “Kami mau merobah nasib…”
Kalimat singkat itu, tidak menusuk kuping, tapi justru ke mata. Entah apa yang terjadi, tapi tiba-tiba gue mau nangis.
“Di sini, kami ga jadi apa-apa, hanya dengan mengandalkan gaji suami seorang dosen, bagaimana cara kami memberikan pendidikan dan kehidupan yang layak kepada anak-anak kami?”
“Di sana, kami akan kerja. Kami akan kerja keras! Jadi apa aja deh, yang penting kerja, jadi tukang cuci piring kek, tukang koran kek...”
Keluarga ini memang bukannya secara finansial tidak mampu. Hanya saja, saat ini, keadaan memang rumit sekali untuk mereka.
Di antara keluarga si istri, ada satu adik yang akan menikah… jelas butuh uang. Kemudian satu juga punya kebutuhan uang yang sangat besar. Visa pelajar mereka hampir habis. Yak, betul sekali. Di antara adik-adik si istri itu, ada yang sudah tinggal di Amerika dengan visa pelajar.. Memilih untuk tidak mau pulang. Mereka bertahan sekuat kemampuan mereka, belajar terus, S2, S3 sampai green card yg mereka tunggu datang. Sejauh ini, dengan visa pelajar, mereka tidak bisa kerja. Maka yang terjadi adalah, mereka kerja sambil kuliah.
Kerja apa? Banyak. Loper koran. Cuci mobil. Masak. Baby sitting. Apapun. Dengan itu, mereka ternyata berhasil bangun rumah di Bogor. Berat, tapi apapun mereka lakukan untuk tidak pulang dari Amerika.
Bermodal dengan kisah tersebut, maka suami istri yang ada di hadapan gue ini berniat untuk juga mengadu nasib ke Amerika. Sekali lagi, si istri berkata “Kami ingin merobah nasib…”
Kepala gue berputar…
Pikiran gue melayang…
Total uang yang mereka harus kumpulkan adalah lebih dari Rp 150.000.000,-
Dengan gigih, pantang menyerah, pantang lelah, mereka cari uang tersebut. Bahkan, mereka sampai membuang rasa terakhir yang menempel dalam tubuh manusia ketika semua rasa sudah mati. Rasa malu.
Pasti berat untuk mereka; datang ke gue dan meminta bantuan. I’m much younger. We’re not even that close!
Still, here they are. Asking. If not begging.
Padahal, dengan uang sejumlah Rp 150.000.000,- mereka pun bisa mengubah nasib dengan tetap tinggal di Indonesia. THEY COULD!
Cuma masalah cara aja. Dan memang, uang RP 150.000.000,- tidak akan serta merta mengubah hidup mereka jadi baik, indah, dan berkecukupan, tapi menggunakan uang dengan jumlah itu untuk ke Amerikapun tidak menjamin hidup mereka jadi mudah di sana.
Tentu gaji mereka besar dibandingkan dengan di sini, tapi pengeluaran juga besar. Tentu ada segala macam jaminan yang lebih jelas dan pasti dan akan membuat mereka bertahan.. Jay Z pun waktu kecil hidup dari food stamps.. sejenis voucher yang bisa ditukarkan dengan makanan.
Kasarnya, mereka di sana akan kayak orang miskin. Orang susah.
“Dengan bekerja sebagai tukang koran, saudaraku bisa bangun rumah di Bogor.”
Apa bedanya dengan…
“Saya merantau ke Jakarta dari Ngawi untuk mengubah nasib… biarin di Jakarta jadi tukang koran, tapi saya bisa menghidupi keluarga di Ngawi, bisa bangun rumah.”
Bedanya hanya.. yang satu dari Ngawi ke Jakarta, dan yang satu Jakarta ke Amerika. Entah kota apa.
Gamila bilang, bagaimanapun juga, orang susah di Indonesia beda dengan orang susah di Amerika. Sekolah lebih banyak yang gratis.
Tapi menurut gue, itu cuma masalah skala.
Di Jakarta juga banyak sekolah gratis, cuman aja sekolah gratis di Jakarta (mungkin) bukan sekolah unggulan. Bukan sekolah bergengsi.
Sama aja, di Amerika gue rasague berasumsi) sekolah gratis ya sekolahnya rakyat… sekolah-sekolah bergengsi Amerika pasti mahal..
Kenapa kalau di Jakarta ga mau masuk sekolah rakyat tapi di Amerika mau?
Hanya karena Amerika?
Andaikan orang-orang di Indonesia tahu bahwa Amerika Serikat sampai sekarang masih memegang rekor untuk tingkat penembakan dan pembunuhan tertinggi di dunia dalam lingkungan sekolah…
“Ya Ampuuuun di sini uang masuk kuliah mahal bangeeeeettt, 80 jutaaaaa” kata mereka.
Sekali lagi, wawasan akan menentukan keputusan. Sebenarnya kalau mereka mau berinvestasi-pun Insya Allah kekejer kok. Anak mereka masih SD… Besar sih angka investasinya, tapi daripada nabung lebih nggak mungkin lagi? Lebih kasian lagi mereka yang merasa aman setelah menggunakan asuransi pendidikan.. Kelak mereka akan sadar, bahwa ternyata uangnya juga ga cukup untuk bisa bayar kuliah. Padahal jumlah uang yang mereka sisihkan untuk asuransi pendidikan itu, kalau di investasikan akan lebih mungkin sampe angkanya…
Sigh
I can’t blame them for not having financial literacy early on.
It’s not going to help them.
Memang, kuliah itu mahal… ITB memang mahal. Jauh lebih mahal daripada ketika gue masih kuliah di sana.. Tapi DEMI TUHAN, beasiswa di kampus ITB BUANYAK BUANGEEEETTTTT…
Gue punya BUANYAAAKK teman yang dari awal masuk kuliah sampai dia lulus, mengandalkan beasiswa. Tidak mengeluarkan uang sendiri sama sekali untuk bayar kuliah.
Bahkan, saking banyaknya, temen-temen gue yang relatif mampu-pun, sampe dapet juga!
Gue aja bego, ga ngeh sama yang begituan.. setelah lulus baru gue tau, temen-temen gue banyak yang pake beasiswa Nyesel juga jadi orang self centered …
Sebenarnya, paginya, di GMHR (Good Morning Hard Rockers Show) kami membahas orang-orang yang pernah di luar negeri cenderung skeptis sama Indonesia. Ga mau pulang. Ga suka Indonesia. Katanya di sini infrastruktur kurang, pajak ga jelas ke mana, jalanan rusak, public transportation buruk… Jepang dan Indonesia sama-sama dalam keadaan tidak baik di tahun (19)45, tapi kini Jepang melesat dan Indonesia masih begini-begini aja.
Dalam hati ketika siaran gue berpikir, DON‟T COMPARE INDONESIA TO OTHERS! IT‟S NOT FAIR IT‟S NOT AN APPLE TO APPLE COMPARISON
Jepang penduduknya berapa sih? Seluas apa? Terbagi atas berapa pulau? Berapa banyak bahasa? Berapa banyak tradisi? Berapa banyak kultur? Berapa banyak kebutuhan?
Di tahun 1945 Jepang memang mulai dari titik yang sama dengan Indonesia akibat bom Hiroshima dan Nagasaki yang merupakan lumbung beras mereka.
Tapi sebelum itu? Jepang adalah penguasa dunia, mereka menguasai negara-negara termasuk Cina dan kita di Indonesia. Pengetahuan mereka dan kita jauh berbeda sebelum tahun 1945.
THE PROBLEM IN OUR COUNTRY IS, WE DO NOT THINK AS ONE.WE ARE TOO MUCH APART. THAT IS THE FACT. Thank God we are united in the same language.
Or maybe we do not have a strong leader. I don’t know.
All I know is, there’s NOTHING we can do by blaming the past.
WHAT WE ARE RIGHT NOW, IS A PRODUCT OF OUR PAST. IF WE DON’T LIKE WHAT WE SEE TODAY, WE CHANGE IT. WE MAKE IT HAPPEN. IT MAY NOT BE FOR THE BENEFIT OF OUR OWN, BUT BY GOD, IT WILL BE FOR THE BENEFIT OF OUR CHILDREN’S CHILDREN.
GA ADA PENDIDIKAN GRATIS? KITA DONG, PERBANYAK BEASISWA. KITA DONG, INISIATIF PADA KANTOR KITA UNTUK PUNYA CSR DI BIDANG PENDIDIKAN.
FASILITAS KESEHATAN MASIH MAHAL? BIKIN DONG, YAYASAN. JANGAN KOMPLEN DOANG.
WHAT WE DO, WILL EFFECT OTHERS.
Walaupun gue akui, sesuatu yang baik tidak akan tersebar secepat sesuatu yang buruk. Itulah mengapa, kita harus sama-sama kerja keras.
Evil is controling time, we should not let ourselves be controled by time.
WE CONTROL OUR TIME.
Sebenarnya, gue ga mau ngomong ini, takut dibilang sombong dan pamer, tapi motivasi gue beda, Insya Allah ga ketangkep salah … Gue aktif di C3, Community for Children with Cancer (www.C3friends.com) karena gue ingin menjadi salah satu dari orang yang membantu menjadikan Indonesia tempat yang lebih baik. Tempat yang punya harapan. I want to make Indonesia the land of the free, the land of hope and dreams. Ada orang ga mampu yang anaknya sakit kanker? Ada C3. Insya Allah, ada harapan.
By doing this, I’m hoping others would be inspired and do the same thing, in other fields. Pendidikan, bidang kesehatan lain seperti AIDS, dll…
Demi Tuhan, gue mau sebenarnya bikin yayasan yang menyediakan pendidikan gratis, tapi gue harus fokus. My calling, is C3.
Gue harus fokuskan perhatian gue kepada anak-anak penderita kanker, sambil tangan gue menggandeng anak-anak ini, mata gue menoleh ke luar, berharap orang lain di luar sana juga tergerak untuk membantu orang lain di Indonesia yang butuh pertolongan.
Yang butuh harapan…
Yang tidak bisa ke Amerika Serikat untuk mengubah nasib mereka…
…
“Gimana, Mas Pandji?” Tolong kami yaa?” Pertanyaan itu menyadarkan gue kembali dari lamunan…
Gue kembali fokus kepada mereka dan obrolan yang sedang berjalan… Tapi mata gue masih menahan tetesan air mata sedih…
Ketika kembali sampai di rumah, Gamila berkata, “Mas, kamu nggak harus menolong mereka, lho… jangan merasa terbebani untuk HARUS menolong…”
But I’m a man of dreams. I dream ‘em , and then I make it happen.
And for me, there is every dream for every man. Who am I to blame what your dreams might be? Who am I to judge it? People have the right to dream. Whatever THAT might be.
I would love to see that family get that dream.
If living in America is their dream. I would love to help them live it.
I just hope, in the near future, my own country could be just like America…
THE LAND OF THE FREE, THE LAND OF HOPE AND DREAMS
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)