ROADSHOW BEDAH EDITORIAL GOES TO IPB
‘Negeri Kaya Nan Rawan Pangan’
Rabu (14/3) – Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang memiliki varian tanaman pangan paling beragam di dunia. Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa ini, merupakan negeri yang kaya namun predikat tersebut tidak begitu saja membuat warganya cukup akan ketersediaan pangan. Data Kementerian Pertanian menyebutkan saat ini daerah rawan pangan di Tanah Air sekitar 4,5%, terutama berada di Indonesia bagian timur. Berdasarkan global hunger index (indeks kelaparan dunia), yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari lima kategori ('sangat mengkhawatirkan', 'mengkhawatirkan', 'serius', 'moderat', dan 'rendah'), Indonesia termasuk negara yang berkategori 'serius' terancam rawan pangan. Kategori 'serius' rawan pangan tersebut tergolong buruk karena hanya satu tingkat di atas kategori khususnya Indonesia, Metro TV dan Media Indonesia (MI) kembali menggelar acara Road Show Bedah Editorial Goes to Campus, yang kali ini bertempat di Auditorium Andi Hakim Nasution, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Jawa Barat.
Road Show Bedah Editorial Goes to Campus ini dihadiri oleh Direktur Pemberitaan Metro TV Suryo Pratomo sebagai pembicara, presenter Metro TV Gadiza Fauzi sebagai moderator, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong, dosen IPB, mahasiswa, dan undangan ini mengangakat tema ‘Negeri Kaya Nan Rawan Pangan’. Acara ini juga dimeriahkan performance dari Gentra Kaheman, pembagian doorprize, serta lomba membaca berita.
Menurut Usman Kansong (Direktur Pemberitaan Media Indonesia) pada sambutannya, editorial merupakan pendapat yang didasarkan pada fakta yang terjadi sebenarnya yang bersifat subjective. Ukuran untuk memandang suatu object antara satu orang dengan yang lain jelas akan berbeda. Konsep editorial yang dibuka ke public itu tergolong baru dan seharusnya terus dikembangkan. Hal ini akan sangat membantu dalam menilai sesuatu object secara lebih luas, dan menggali lebih dalam tentang fakta-fakta yang ada di dalamnya.
Ya, Indonesia yang berada pada kategori 'serius' terancam rawan pangan ini mengundang banyak kontroversi. Indeks kelaparan dunia itu menunjukkan 122 negara masih dalam tahap berkembang dan transisi. Sebanyak 29 negara masih memiliki tingkat kelaparan yang 'sangat mengkhawatirkan' dan 'mengkhawatirkan', antara lain Burundi, Chad, Republik Demokratik Kongo, dan Eritrea. Sebagian besar negara-negara dengan kategori 'mengkhawatirkan' berada di Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Itu berarti negara-negara tersebut hanya satu tingkat lebih jelek jika dibandingkan dengan Indonesia dalam hal rawan pangan.
Bagi negara-negara di Afrika dengan varian tanaman pangan terbatas, ancaman rawan pangan dapat dianggap wajar. Akan tetapi, bagi Indonesia yang memiliki keragaman jenis tanaman pangan, ancaman rawan pangan merupakan ironi. Thailand yang notabene mendapat pasokan pupuk dari Indonesia malah lebih unggul sektor pertaniannya dibandingkan Indonesia sendiri. Bahkan Raja Thailand jelas mengungkapkan kepada ibu Megawati, yang pada saat itu masih menjadi presiden Republik Indonesia, bahwa Thailand mempelajari pertanian itu dari Indonesia.
Suryo Pratomo atau lebih akrab dipanggil Bung Tomi mengatakan, “kemana passion pertanian kita? Orang-orang Indonesia sekarang seakan lebih bangga jadi tukang ojek dibandingkan menjadi petani”. Grand design untuk Indonesia itu sudah masalah klasik. Indonesia dituntut berubah menjadi modern kearah sektor industri, tetapi seakan melupakan pertanian. Padahal Soekarno (Presiden Pertama Republik Indonesia) pernah berkata bahwa soal makan untuk rakyat adalah soal hidup atau mati. Berbeda dengan Indonesia, Cina telah menjadi negara industri (pada bagian timur) yang tetap menjaga sektor pertaniannya (pada bagian barat). Jika di Indonesia bisa 2-3 kali panen dalam satu tahun, di Cina hanya satu kali dalam satu tahun. Bukankah ini sebuah ironi?
Banyak petani menjerit karena mereka membeli sarana produksi dengan harga pasar. Tetapi ketika mereka menjual gabahnya, harga jual sudah dipatok oleh pemerintah yang nilainya sangat rendah. Indonesia menjadi produsen pupuk, tetapi petani kita masih sulit mendapatkan bantuan pupuk. Kondisi real di lapangan jelas berbeda ketika kita melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Banyak lembaga-lembaga dibuat secara khusus, namun jika kita mengevaluasi hal tersebut tidaklah efektif malah makin membuat anggaran dana membengkak. “Indonesia ibarat tikus yang mati dalam lumbung padi,” tambah Bung Tomi.
Media Indonesia menambahkan, penyebab masalah ini adalah kebijakan pangan nasional yang banyak salah. Di antaranya 'penyeragaman' makanan pokok, yakni beras, yang kian tidak terkendali. Di sisi lain, lahan untuk menyemai padi terus tergerus. Hampir tidak ada sudut di negeri ini yang tidak mengonsumsi nasi. Padahal, dulu kita mengenal warga Madura dengan makanan pokok jagung dan warga Maluku sagu. Semua kearifan lokal itu punah. Akibatnya, ketika persediaan beras menipis dan panen padi gagal, rawan pangan pun tak terelakkan. Karena itu, kebijakan pangan nasional harus serius untuk mendiversifikasikan pangan. Kebijakan pangan yang salah lainnya adalah lebih mementingkan ekspor, padahal kebutuhan dalam negeri belum tercukupi. Indonesia yang kaya laut, misalnya, ternyata defisit ikan hingga 1 juta ton per tahun. Tidak sinkronnya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga berdampak pada implementasi kebijakan pangan yang dibuat. Bung Tomi menambahkan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya, dan kemampuan pemimpinnya dalam menentukan tujuan dan arah negaranya berkembang.
Ancaman rawan pangan memang bukan monopoli Indonesia. Namun, kita berbeda dengan negara-negara lain yang lebih sigap mengantisipasi ancaman tersebut. China, Filipina, bahkan Thailand dan Vietnam yang menjadi lumbung beras sudah memulai gerakan mengamankan cadangan pangan dalam negeri mereka dari ancaman pangan. Tapi di sini, yang terjadi masih masalah soal apakah benar kita surplus beras atau tidak. Bahkan, kita masih terjebak dalam perdebatan soal benar-tidaknya negeri ini rawan pangan. Kita harus benar-benar fokus pada sektor pertanian. Passion pertanian itu sangat penting untuk mendorong inovasi-inovasi dalam pengembangan sektor pertanian. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat dapat membuat Indonesia kearah yang lebih baik lagi. [OE]
‘Negeri Kaya Nan Rawan Pangan’
Rabu (14/3) – Indonesia mendapat predikat sebagai negara yang memiliki varian tanaman pangan paling beragam di dunia. Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa ini, merupakan negeri yang kaya namun predikat tersebut tidak begitu saja membuat warganya cukup akan ketersediaan pangan. Data Kementerian Pertanian menyebutkan saat ini daerah rawan pangan di Tanah Air sekitar 4,5%, terutama berada di Indonesia bagian timur. Berdasarkan global hunger index (indeks kelaparan dunia), yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari lima kategori ('sangat mengkhawatirkan', 'mengkhawatirkan', 'serius', 'moderat', dan 'rendah'), Indonesia termasuk negara yang berkategori 'serius' terancam rawan pangan. Kategori 'serius' rawan pangan tersebut tergolong buruk karena hanya satu tingkat di atas kategori khususnya Indonesia, Metro TV dan Media Indonesia (MI) kembali menggelar acara Road Show Bedah Editorial Goes to Campus, yang kali ini bertempat di Auditorium Andi Hakim Nasution, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Jawa Barat.
Road Show Bedah Editorial Goes to Campus ini dihadiri oleh Direktur Pemberitaan Metro TV Suryo Pratomo sebagai pembicara, presenter Metro TV Gadiza Fauzi sebagai moderator, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Herry Suhardiyanto MSc, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong, dosen IPB, mahasiswa, dan undangan ini mengangakat tema ‘Negeri Kaya Nan Rawan Pangan’. Acara ini juga dimeriahkan performance dari Gentra Kaheman, pembagian doorprize, serta lomba membaca berita.
Menurut Usman Kansong (Direktur Pemberitaan Media Indonesia) pada sambutannya, editorial merupakan pendapat yang didasarkan pada fakta yang terjadi sebenarnya yang bersifat subjective. Ukuran untuk memandang suatu object antara satu orang dengan yang lain jelas akan berbeda. Konsep editorial yang dibuka ke public itu tergolong baru dan seharusnya terus dikembangkan. Hal ini akan sangat membantu dalam menilai sesuatu object secara lebih luas, dan menggali lebih dalam tentang fakta-fakta yang ada di dalamnya.
Ya, Indonesia yang berada pada kategori 'serius' terancam rawan pangan ini mengundang banyak kontroversi. Indeks kelaparan dunia itu menunjukkan 122 negara masih dalam tahap berkembang dan transisi. Sebanyak 29 negara masih memiliki tingkat kelaparan yang 'sangat mengkhawatirkan' dan 'mengkhawatirkan', antara lain Burundi, Chad, Republik Demokratik Kongo, dan Eritrea. Sebagian besar negara-negara dengan kategori 'mengkhawatirkan' berada di Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Itu berarti negara-negara tersebut hanya satu tingkat lebih jelek jika dibandingkan dengan Indonesia dalam hal rawan pangan.
Bagi negara-negara di Afrika dengan varian tanaman pangan terbatas, ancaman rawan pangan dapat dianggap wajar. Akan tetapi, bagi Indonesia yang memiliki keragaman jenis tanaman pangan, ancaman rawan pangan merupakan ironi. Thailand yang notabene mendapat pasokan pupuk dari Indonesia malah lebih unggul sektor pertaniannya dibandingkan Indonesia sendiri. Bahkan Raja Thailand jelas mengungkapkan kepada ibu Megawati, yang pada saat itu masih menjadi presiden Republik Indonesia, bahwa Thailand mempelajari pertanian itu dari Indonesia.
Suryo Pratomo atau lebih akrab dipanggil Bung Tomi mengatakan, “kemana passion pertanian kita? Orang-orang Indonesia sekarang seakan lebih bangga jadi tukang ojek dibandingkan menjadi petani”. Grand design untuk Indonesia itu sudah masalah klasik. Indonesia dituntut berubah menjadi modern kearah sektor industri, tetapi seakan melupakan pertanian. Padahal Soekarno (Presiden Pertama Republik Indonesia) pernah berkata bahwa soal makan untuk rakyat adalah soal hidup atau mati. Berbeda dengan Indonesia, Cina telah menjadi negara industri (pada bagian timur) yang tetap menjaga sektor pertaniannya (pada bagian barat). Jika di Indonesia bisa 2-3 kali panen dalam satu tahun, di Cina hanya satu kali dalam satu tahun. Bukankah ini sebuah ironi?
Banyak petani menjerit karena mereka membeli sarana produksi dengan harga pasar. Tetapi ketika mereka menjual gabahnya, harga jual sudah dipatok oleh pemerintah yang nilainya sangat rendah. Indonesia menjadi produsen pupuk, tetapi petani kita masih sulit mendapatkan bantuan pupuk. Kondisi real di lapangan jelas berbeda ketika kita melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Banyak lembaga-lembaga dibuat secara khusus, namun jika kita mengevaluasi hal tersebut tidaklah efektif malah makin membuat anggaran dana membengkak. “Indonesia ibarat tikus yang mati dalam lumbung padi,” tambah Bung Tomi.
Media Indonesia menambahkan, penyebab masalah ini adalah kebijakan pangan nasional yang banyak salah. Di antaranya 'penyeragaman' makanan pokok, yakni beras, yang kian tidak terkendali. Di sisi lain, lahan untuk menyemai padi terus tergerus. Hampir tidak ada sudut di negeri ini yang tidak mengonsumsi nasi. Padahal, dulu kita mengenal warga Madura dengan makanan pokok jagung dan warga Maluku sagu. Semua kearifan lokal itu punah. Akibatnya, ketika persediaan beras menipis dan panen padi gagal, rawan pangan pun tak terelakkan. Karena itu, kebijakan pangan nasional harus serius untuk mendiversifikasikan pangan. Kebijakan pangan yang salah lainnya adalah lebih mementingkan ekspor, padahal kebutuhan dalam negeri belum tercukupi. Indonesia yang kaya laut, misalnya, ternyata defisit ikan hingga 1 juta ton per tahun. Tidak sinkronnya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga berdampak pada implementasi kebijakan pangan yang dibuat. Bung Tomi menambahkan bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya, dan kemampuan pemimpinnya dalam menentukan tujuan dan arah negaranya berkembang.
Ancaman rawan pangan memang bukan monopoli Indonesia. Namun, kita berbeda dengan negara-negara lain yang lebih sigap mengantisipasi ancaman tersebut. China, Filipina, bahkan Thailand dan Vietnam yang menjadi lumbung beras sudah memulai gerakan mengamankan cadangan pangan dalam negeri mereka dari ancaman pangan. Tapi di sini, yang terjadi masih masalah soal apakah benar kita surplus beras atau tidak. Bahkan, kita masih terjebak dalam perdebatan soal benar-tidaknya negeri ini rawan pangan. Kita harus benar-benar fokus pada sektor pertanian. Passion pertanian itu sangat penting untuk mendorong inovasi-inovasi dalam pengembangan sektor pertanian. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat dapat membuat Indonesia kearah yang lebih baik lagi. [OE]